Lupa,tidak ingat, tidak kenal, dan tidak tahu merupakan senjata paling ampuh untuk menghindar dari jeratan hukum. Dari waktu ke waktu frasa itu digunakan tersangka kasus korupsi sebagai jurus untuk berkelit.
Jurus yang sama juga dipergunakan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pekan lalu, memeriksa Anas dalam kasus dugaan korupsi pengadaan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Kemenakertrans.
Saat diperiksa sebagai saksi, Anas membantah terkait dengan proyek senilai Rp8,9 miliar itu. Ia menyatakan tidak kenal proyek PLTS dan justru baru mengetahui proyek itu dari pers dan ketika dipanggil KPK.
Tidak hanya itu, Anas juga mengaku tidak mengenal Timas Ginting, tersangka kasus PLTS dan pejabat pembuat komitmen di Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Masyarakat dan Kawasan Transmigrasi (P2MKT) di Kemenakertrans pada 2008.
Keterangan Anas itu bertolak belakang dengan keterangan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Menurut Nazaruddin, Anas justru terlibat dalam kasus suap PLTS karena Anas bersama dirinya merupakan pimpinan PT Anugerah Nusantara saat perusahaan itu menjadi rekanan proyek PLTS.
Berdasarkan keterangan Nazaruddin itu jelaslah sangat aneh jika Anas mengaku tidak tahu proyek tersebut. Sangat tidak masuk akal jika seorang pemimpin perusahaan tidak tahu atau tidak ingat bahwa perusahaannya memperoleh proyek besar, senilai Rp8,9 miliar.
Beberapa waktu lalu, Anas memang pernah mengaku ia sudah keluar dari perusahaan itu sejak 2009. Padahal, proyek pengadaan PLTS di Kemenakertrans berlangsung pada 2008. Artinya, saat PT Anugerah menggarap PLTS, Anas masih pemimpin di perusahaan itu. Dengan demikian, ia bertanggung jawab sepenuhnya terhadap jalannya perusahaan itu.
Anas yang masih muda, cerdas, dan mantan Ketua Umum PB Himpunan Mahasiswa Islam itu boleh saja mengaku tidak tahu, tidak kenal, atau lupa. Namun, KPK tentu tidak boleh memercayainya begitu saja. Apalagi menghentikan proses penyidikan kasus itu hanya karena ia seorang ketua umum partai yang berkuasa.
KPK, sekali lagi, harus membuktikan tidak tebang pilih. Tegas terhadap koruptor kecil yang tidak memiliki backing politik, tetapi lemah terhadap pimpinan partai yang berkuasa atau kalangan yang dekat dengan kekuasaan hanya akan menghancurkan kepercayaan publik kepada KPK.
KPK harus menggunakan teknik penyelidikan dan penyidikannya yang selama ini telah terbukti berhasil menjerat pelaku korupsi. Salah satunya ialah follow the money. Usut ke mana saja aliran dana di PT Anugerah Nusantara selama Anas masih menjadi pemimpinnya. Dari sana akan ketahuan, Anas itu lupa, atau pura-pura lupa.
Kalau memang Anas seorang yang jujur, yang bersih, mestinya ia bahkan berani melakukan pembuktian terbalik dari mana ia mendapatkan kekayaannya. Jangan-jangan dia pun lupa asal usul kekayaannya.
0 comments:
Post a Comment