Tragis nian nasib yang menimpa Ruyati binti Satubi. Tragis karena warga Desa
Sukaderma, Kecamatan Sukatani, Bekasi, itu tewas di tangan algojo
Kerajaan Arab Saudi. Janda berusia 54 tahun itu dieksekusi hukum pancung
pada 18 Juni gara-gara membunuh majikannya.
Lebih tragis lagi, Ruyati yang meninggalkan tiga anak itu dipancung tidak sampai seminggu setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di Konferensi International Labour Organization (ILO), Jenewa, Swiss. ILO memberi kesempatan kepada Presiden Yudhoyono untuk berpidato pada 14 Juni karena Indonesia merupakan salah satu negara yang berhasil meratifikasi Undang-Undang Buruh Migran.
Dalam pidato yang disambut standing applause itu, Presiden Yudhoyono mengatakan di Indonesia mekanisme perlindungan terhadap pembantu rumah tangga migran Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya.
Tentu saja pidato itu menyejukkan dan menjanjikan sehingga disambut dengan tepuk tangan gegap gempita. Akan tetapi, buaian pidato tersebut tiba-tiba lenyap ketika tersiar kabar ke seluruh dunia bahwa Ruyati dihukum pancung tanpa ada pembelaan berarti dari negara. Pidato itu semakin meneguhkan kenyataan jauh panggang kata dari api perbuatan para pemimpin.
Ada semacam paradoks yang dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Di satu sisi mereka dianggap sebagai pahlawan karena berhasil menyumbangkan devisa bagi negara. Di sisi lain, negara sama sekali tidak memberikan perhatian serius terhadap tenaga kerja bermasalah di luar negeri. Diplomasi luar negeri Indonesia terlihat sangat tumpul.
Eksekusi mati terhadap Ruyati merupakan bentuk paling nyata keteledoran diplomasi untuk melindungi pembantu rumah tangga migran Indonesia. Publik di Tanah Air sama sekali tidak pernah mengetahui proses hukum dan upaya diplomasi apa yang dilakukan pemerintah Indonesia.
Keteledoran itulah juga yang terjadi pada kasus eksekusi mati terhadap Yanti Iriyanti, pembantu rumah tangga migran Indonesia asal Cianjur. Menurut Migrant Care, hingga kini jenazah Yanti bahkan belum bisa dipulangkan ke Tanah Air sekalipun keluarga telah memintanya.
Pemerintah tidak boleh berpangku tangan untuk memperjuangkan harkat dan martabat pembantu rumah tangga migran Indonesia, apalagi berpuas diri setelah mengumbar pidato di forum internasional. Saat ini, berdasarkan data yang dipublikasikan Migrant Care, terdapat sekitar 23 warga negara Indonesia tengah menghadapi ancaman hukuman mati di Arab Saudi.
Tindakan nyata Presiden Yudhoyono sangat dinantikan. Misalnya, mengevaluasi kinerja, bila perlu mencopot semua pejabat yang terkait dengan keteledoran kasus Ruyati.
Pejabat yang perlu dievaluasi ialah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri, Kepala BNP2TKI, dan Duta Besar RI untuk Arab Saudi.
Tidak kalah penting ialah memprotes pemerintah Arab Saudi. Protes bisa dilakukan hingga tingkat memutuskan hubungan diplomatik kedua negara.
Lebih tragis lagi, Ruyati yang meninggalkan tiga anak itu dipancung tidak sampai seminggu setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato di Konferensi International Labour Organization (ILO), Jenewa, Swiss. ILO memberi kesempatan kepada Presiden Yudhoyono untuk berpidato pada 14 Juni karena Indonesia merupakan salah satu negara yang berhasil meratifikasi Undang-Undang Buruh Migran.
Dalam pidato yang disambut standing applause itu, Presiden Yudhoyono mengatakan di Indonesia mekanisme perlindungan terhadap pembantu rumah tangga migran Indonesia sudah berjalan, tersedia institusi dan regulasinya.
Tentu saja pidato itu menyejukkan dan menjanjikan sehingga disambut dengan tepuk tangan gegap gempita. Akan tetapi, buaian pidato tersebut tiba-tiba lenyap ketika tersiar kabar ke seluruh dunia bahwa Ruyati dihukum pancung tanpa ada pembelaan berarti dari negara. Pidato itu semakin meneguhkan kenyataan jauh panggang kata dari api perbuatan para pemimpin.
Ada semacam paradoks yang dialami tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Di satu sisi mereka dianggap sebagai pahlawan karena berhasil menyumbangkan devisa bagi negara. Di sisi lain, negara sama sekali tidak memberikan perhatian serius terhadap tenaga kerja bermasalah di luar negeri. Diplomasi luar negeri Indonesia terlihat sangat tumpul.
Eksekusi mati terhadap Ruyati merupakan bentuk paling nyata keteledoran diplomasi untuk melindungi pembantu rumah tangga migran Indonesia. Publik di Tanah Air sama sekali tidak pernah mengetahui proses hukum dan upaya diplomasi apa yang dilakukan pemerintah Indonesia.
Keteledoran itulah juga yang terjadi pada kasus eksekusi mati terhadap Yanti Iriyanti, pembantu rumah tangga migran Indonesia asal Cianjur. Menurut Migrant Care, hingga kini jenazah Yanti bahkan belum bisa dipulangkan ke Tanah Air sekalipun keluarga telah memintanya.
Pemerintah tidak boleh berpangku tangan untuk memperjuangkan harkat dan martabat pembantu rumah tangga migran Indonesia, apalagi berpuas diri setelah mengumbar pidato di forum internasional. Saat ini, berdasarkan data yang dipublikasikan Migrant Care, terdapat sekitar 23 warga negara Indonesia tengah menghadapi ancaman hukuman mati di Arab Saudi.
Tindakan nyata Presiden Yudhoyono sangat dinantikan. Misalnya, mengevaluasi kinerja, bila perlu mencopot semua pejabat yang terkait dengan keteledoran kasus Ruyati.
Pejabat yang perlu dievaluasi ialah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Luar Negeri, Kepala BNP2TKI, dan Duta Besar RI untuk Arab Saudi.
Tidak kalah penting ialah memprotes pemerintah Arab Saudi. Protes bisa dilakukan hingga tingkat memutuskan hubungan diplomatik kedua negara.
Tahu-tahu Ruyati dipancung dan pemerintah pun hanya bisa menanggapinya
dengan pernyataan terkejut. Seperti biasa pula, reaksi dalam negeri pun
begitu ramai dengan berbagai motif.
Sesungguhnya, ini merupakan aib besar. Selain tidak mampu melindungi dan membela warga yang terlunta-lunta, disiksa, dan terancam oleh kematian, pemerintah juga tidak dipandang negara lain.
Karena itu, kasus Ruyati harus menjadi pelajaran sangat serius bagi pemerintah. Sudah saatnya mendengar sungguh-sungguh rekomendasi Sidang Paripurna DPR untuk melakukan moratorium penempatan tenaga kerja kita di luar negeri, khususnya ke Arab Saudi.
Kita tidak boleh lagi terbelenggu oleh dilema simalakama antara tragedi kemanusiaan dan puja-puji pahlawan devisa. Ruyati harus menjadi cambuk yang menyadarkan bahwa martabat manusia Indonesia lebih penting daripada keuntungan finansial yang menyebar ke berbagai pihak di dalam negeri.
Australia baru saja memberi contoh bagaimana sebuah negara harus memiliki keutamaan yang tidak bisa ditawar-tawar. Kalau Australia mampu mengutamakan sapi dengan rela rugi ratusan juta dolar, mengapa pemimpin Indonesia tidak menghargai nyawa seorang manusia bernama Ruyati?
Kekejaman Arab Saudi sesungguhnya kalah jika dibandingkan dengan seluruh proses rekrutmen, penampungan, dan pengiriman TKI yang ada di Indonesia sendiri. Arab Saudi hanya mengeksekusi kekejaman yang dipelihara di dalam negeri, yaitu seluruh proses yang sarat manipulasi.
Moratorium dalam jangka tertentu dapat memperbaiki keadaan. Toh, pemerintah juga pernah melakukan hal itu terhadap Yordania, Kuwait, dan Malaysia. Mengapa terhadap Arab Saudi harus diharamkan?
Tanpa memperbaiki sungguh-sungguh kebobrokan dunia TKI di dalam negeri, kekejaman hanya menunggu waktu untuk terjadi lagi di luar negeri. Tanpa ada yang merasa malu dan bersalah atas tragedi Ruyati di kalangan pemimpin di Tanah Air, Ruyati-Ruyati berikutnya akan hadir lagi.
Aneh, di tengah banyak lembaga yang mengurus TKI, tidak ada yang mengaku salah dan mengambil konsekuensi atas kesalahan itu sebagai manifestasi pemimpin yang memiliki peradaban!
Kita tunggu siapa di antara penguasa yang berjibun sekarang ini dalam urusan TKI mengaku salah dan mengundurkan diri. Bukan lagi rahasia, manipulasi sudah berurat akar dari pusat sampai ke perdesaan dalam rekrutmen TKI.
Jangan sok berbudaya kalau tidak menghargai warga negaranya sendiri. Martabat negara dan pemimpin diukur pada komitmennya pada kemanusiaan rakyatnya baik di dalam maupun di luar negeri.
Sesungguhnya, ini merupakan aib besar. Selain tidak mampu melindungi dan membela warga yang terlunta-lunta, disiksa, dan terancam oleh kematian, pemerintah juga tidak dipandang negara lain.
Karena itu, kasus Ruyati harus menjadi pelajaran sangat serius bagi pemerintah. Sudah saatnya mendengar sungguh-sungguh rekomendasi Sidang Paripurna DPR untuk melakukan moratorium penempatan tenaga kerja kita di luar negeri, khususnya ke Arab Saudi.
Kita tidak boleh lagi terbelenggu oleh dilema simalakama antara tragedi kemanusiaan dan puja-puji pahlawan devisa. Ruyati harus menjadi cambuk yang menyadarkan bahwa martabat manusia Indonesia lebih penting daripada keuntungan finansial yang menyebar ke berbagai pihak di dalam negeri.
Australia baru saja memberi contoh bagaimana sebuah negara harus memiliki keutamaan yang tidak bisa ditawar-tawar. Kalau Australia mampu mengutamakan sapi dengan rela rugi ratusan juta dolar, mengapa pemimpin Indonesia tidak menghargai nyawa seorang manusia bernama Ruyati?
Kekejaman Arab Saudi sesungguhnya kalah jika dibandingkan dengan seluruh proses rekrutmen, penampungan, dan pengiriman TKI yang ada di Indonesia sendiri. Arab Saudi hanya mengeksekusi kekejaman yang dipelihara di dalam negeri, yaitu seluruh proses yang sarat manipulasi.
Moratorium dalam jangka tertentu dapat memperbaiki keadaan. Toh, pemerintah juga pernah melakukan hal itu terhadap Yordania, Kuwait, dan Malaysia. Mengapa terhadap Arab Saudi harus diharamkan?
Tanpa memperbaiki sungguh-sungguh kebobrokan dunia TKI di dalam negeri, kekejaman hanya menunggu waktu untuk terjadi lagi di luar negeri. Tanpa ada yang merasa malu dan bersalah atas tragedi Ruyati di kalangan pemimpin di Tanah Air, Ruyati-Ruyati berikutnya akan hadir lagi.
Aneh, di tengah banyak lembaga yang mengurus TKI, tidak ada yang mengaku salah dan mengambil konsekuensi atas kesalahan itu sebagai manifestasi pemimpin yang memiliki peradaban!
Kita tunggu siapa di antara penguasa yang berjibun sekarang ini dalam urusan TKI mengaku salah dan mengundurkan diri. Bukan lagi rahasia, manipulasi sudah berurat akar dari pusat sampai ke perdesaan dalam rekrutmen TKI.
Jangan sok berbudaya kalau tidak menghargai warga negaranya sendiri. Martabat negara dan pemimpin diukur pada komitmennya pada kemanusiaan rakyatnya baik di dalam maupun di luar negeri.
Hanya perbuatan nyata itulah yang kini ditunggu masyarakat. Rakyat sudah bosan dengan pidato berbuih tanpa tindakan.
0 comments:
Post a Comment