RESHUFFLE kabinet yang diharap sebagai gebrakan besar dan berani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap kinerja pemerintahan ternyata menghasilkan perubahan seadanya. Tentu mengecewakan karena hilangnya unsur keberanian dalam perubahan itu sendiri.
Perombakan kabinet yang diharapkan mengganti para menteri yang tidak kapabel ternyata dijawab dengan menggembungkan jabatan wakil menteri. Para wakil menteri yang dalam praktik masih diperlakukan sebagai ban serep dengan tugas yang tidak jelas akan membengkak dari tujuh saat ini menjadi 19.
Sebaliknya, para menteri yang diganti atau bertukar posisi sampai saat ini masih terbatas pada tujuh kementerian. Padahal, bila evaluasi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dipegang sebagai parameter kinerja, lebih dari 50% menteri tidak kapabel.
Tentu menjadi perdebatan mengapa perombakan kabinet yang fokusnya ialah kinerja menteri ternyata hanya menghasilkan pembengkakan jabatan wakil menteri. Seolah-olah menteri-menteri tidak berprestasi karena ketiadaan wakil yang pas dan cukup. Itu sama saja dengan lain yang ditanya lain yang dijawab.
Dunia manajemen sekarang semakin yakin bahwa organisasi yang terlalu gemuk memberatkan kinerja. Karena itu, efisiensi dan efektivitas hanya dicapai melalui postur organisasi yang ramping. Dengan menambah wakil menteri dari 10 menjadi 19 jelas terjadi sebuah pembengkakan. Konsekuensinya yang amat jelas ialah pembengkakan biaya.
Kalau para wakil menteri ditambah, pertanyaan yang juga muncul ialah bagaimana utilisasi dan koordinasi dengan struktur yang telah ada? Misalnya, bagaimana pembagian kerja di antara pejabat-pejabat eselon 1, para dirjen, sekjen, dan irjen? Belum lagi para menteri juga membawa para staf khusus masing-masing untuk kepentingan mereka sendiri?
Jadi, bisa dibayangkan betapa rumit struktur dan rentang kendali dari organisasi yang dipaksa menjadi sangat gemuk. SBY lupa pada satu fakta bahwa birokrasi kita terlalu bengkak sampai-sampai pemerintah memberlakukan moratorium penerimaan pegawai negeri.
Kelihatan, penambahan jabatan wakil menteri yang demikian banyak merupakan pilihan yang paling lembek buat SBY. Hanya dalam hal itulah reshuffle bebas dari intervensi dan belenggu partai politik.
Kalau lain yang ditanya lain yang dijawab, lain yang diminta lain yang diberi, apa yang bisa diharap dari perombakan ketika usia pemerintahan SBY tinggal separuh waktu? Tidak banyak yang bisa diharapkan dari reshuffle dengan watak seperti ini.
Keyakinan yang belum banyak bergeser ialah kinerja sebuah organisasi, termasuk pemerintahan, sangat ditentukan pemimpinnya. Karena itu, mengatasi seorang menteri yang tidak berprestasi dengan menambah wakil menteri merupakan sebuah kekeliruan.
Reshufffle yang memperkuat dan memperbanyak kehadiran para wakil menteri mempertegas kemerosotan tanggung jawab para pemimpin. Juga mempertegas lagi tentang keberadaan negara pegawai di Indonesia.
0 comments:
Post a Comment