Malang nian nasib PSSI. Dalam usia yang sudah renta, 81 tahun, ia yang semestinya tinggal menikmati saat-saat indah penuh prestasi justru terus tertatih-tatih berpacu dalam konflik.
Ketika rezim Nurdin Halid yang menguasai PSSI selama delapan tahun akhirnya tumbang pada Juli 2011, harapan akan berakhirnya masa-masa kelam yang membalut sepak bola nasional begitu menjulang. Namun, hanya dalam hitungan bulan, harapan itu memudar dan sirna pelan-pelan.
Harapan itu bersemi ketika Kongres PSSI di Solo memenangkan kelompok proreformasi dengan memilih Johar Arifin sebagai ketua umum.
Kemenangan Johar dianggap sebagai tonggak menuju sepak bola Indonesia yang lebih profesional, lebih berkualitas, dan lebih berprestasi.
Namun, perjalanan waktu menunjukkan sebaliknya. Kepengurusan Johar ternyata tidak lebih bagus ketimbang era Nurdin. Independensi PSSI juga sami mawon. Kalau dulu Nurdin terkesan bergantung kepada Nirwan Bakrie, Johar berlindung di balik tembok jenggala kediaman Arifin Panigoro.
Pelanggaran demi pelanggaran terhadap peraturan dan prinsip fairness sebagai jantungnya sepak bola pun tetap saja terjadi.
Yang aneh dan konyol ketika pada September PSSI memutuskan kompetisi Indonesia Premier League (IPL) diikuti 24 klub. Aneh, karena tetap dipaksakan meski secara tidak langsung melanggar Statuta PSSI yang hanya mengakui 18 klub kasta tertinggi sebagai pemilik suara di kongres. Konyol, sebab PSSI memasukkan tiga tim sakit, yakni Persema Malang, Persibo Bojonegoro, dan PSM Makassar, sebagai peserta IPL.
Padahal, Kongres PSSI di Bali pada Januari 2011 memecat Persema dan Persibo, sedangkan PSM diturunkan ke Divisi Utama karena menyempal ke liga ilegal, Liga Primer Indonesia.
Konsekuensinya sangat tegas, yaitu Persema dan Persibo harus mendaftar sebagai peserta baru dan mulai berlaga di Divisi III jika ingin kembali berkompetisi. Namun, PSSI dengan gampang memasukkan lagi kedua klub itu ke kompetisi level puncak. PSM juga dipersilakan berlaga di IPL tanpa perlu berdarah-darah, berjuang lebih dulu di Divisi Utama.
Begitulah, prinsip hakiki dalam kompetisi yakni fairplay seenaknya mereka labrak. Tak hanya itu. PSSI pun terus tersandera kekisruhan demi kekisruhan, konflik demi konflik. Menyangkut kompetisi, misalnya, lagi-lagi muncul liga tandingan bernama Indonesia Super League (ISL). Lagi-lagi pula, pemain menjadi korban. Sampai-sampai pelatih idola, Rahmad Darmawan, memilih mundur dari timnas U-23 karena dilarang memilih punggawa andal yang justru banyak berkiprah di ISL.
Bahkan, belakangan kian gencar upaya menggelar kongres luar biasa untuk menggusur kepengurusan Johar yang baru berumur enam bulan.
Sulit dibantah bahwa semangat reformasi yang mengantarkan Johar sebagai nakhoda PSSI telah tergilas nafsu kekuasaan dan kepentingan. Semangat perubahan yang begitu agung kala mendongkel Nurdin kini dinistakan.
PSSI ibarat lepas dari mulut macan masuk mulut buaya. Masa kegelapan saat Nurdin berkuasa memang sudah habis, tetapi era kegelapan yang baru kembali terbit.
0 comments:
Post a Comment