Dont worry be happy!


Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tentang kisruh Partai Demokrat dan mantan bendahara umum partai tersebut, Muhammad Nazaruddin, kontraproduktif. Alih-alih membuat perkara menjadi jelas dan terang benderang, pidato itu menimbulkan kisruh baru, terutama dengan media massa.

Reaksi pers, cetak maupun elektronik, terhadap pidato itu umumnya negatif. Tidak semata karena SBY gagal menjelaskan isu utama yang menjadi perhatian publik, tetapi juga karena ketidaksenangan SBY terhadap media massa yang menulis berita yang menohok Partai Demokrat berdasarkan SMS (short message service) dan BBM (Blackberry Messenger) dari Nazaruddin yang buron entah di mana.

Menurut pandangan SBY yang kemudian ditentang kalangan media, SMS atau BBM dari seorang Nazaruddin tidak bisa dijadikan berita media massa karena belum tentu informasi itu sungguh-sungguh dari Nazaruddin. Pers dituding mengabaikan asas legalitas.

Jawaban Ketua Dewan Pers Bagir Manan tepat, bahwa pers bekerja menurut asas dan fakta jurnalistik. Adapun asas legalitas ialah mindset dan asas penegak hukum. Pers tidak bisa dipaksa menjadi polisi dan jaksa. Pers bertugas memverifikasi informasi, sedangkan polisi dan jaksa memiliki hak investigasi yuridis bernama penyelidikan dan penyidikan.

Dalam konstruksi berpikir seperti itulah, SMS dan BBM yang masuk ke kalangan pers merupakan informasi yang berguna. Pers yang benar pasti memverifikasi pertanyaan pokok, benarkah ini SMS dari Nazaruddin?

Sampai hari ini tidak ada bantahan Nazaruddin bahwa SMS dan BBM yang beredar di kalangan pers itu adalah dari Nazaruddin palsu.

Yang mencemaskan bagi kebebasan pers ialah ekspresi ketidaksenangan SBY terhadap pemberitaan media massa. Di masa lalu, kekecewaan seorang presiden terhadap pers merupakan isyarat akan ada pemberedelan.

Dalam konteks yang lebih besar dari semata kisruh media dan SBY adalah pertanyaan tentang kredibilitas. Mengapa pidato seorang presiden yang berisi penjelasan tentang sebuah perkara krusial tidak cukup kuat mengangkat dan mengikat kredibilitas?

Bagi media, kredibilitas adalah nyawa. Sekali publik tidak percaya, koran atau televisi akan tamat riwayatnya. Koran menghadapi elektabilitas publik setiap hari. Tidak seperti partai politik, yang elektabilitasnya diuji lima tahun sekali.

Pada akhirnya, relasi kekuasaan dan media harus dinikmati sebagai sesuatu yang menyenangkan.

0 comments:

Post a Comment

Connect with Us!

Banner 300x250

Most Popular

Internet

Home Style

Fashion

Money

Azon Profit Master

Beauty

Sekolah Internet Indonesia

Computer

Life Style