Pemerintah Yang Gigih Memperjuangkan Citra Ketimbang Kerja

Pernyataan sekaligus keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terhadap rendahnya kinerja Kabinet Indonesia Bersatu II tidaklah mengejutkan. Keluhan itu merupakan penegasan tentang realitas sesungguhnya kinerja pemerintahan yang sangat faktual dan kasatmata.

Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) pekan lalu menegaskan lagi realitas kinerja kabinet yang amat rendah itu. Indikatornya, menurut UKP4, lebih dari 50% instruksi presiden yang dikeluarkan selama 2011 tidak jalan. Kok bisa?

Angka yang dikeluarkan UKP4 membenarkan sejumlah tudingan kalangan kritis bahwa inilah pemerintah yang gigih memperjuangkan citra ketimbang kerja. Namun, hal itu selalu dibantah orang pemerintah, termasuk oleh SBY sendiri. Ketika citra sudah tidak bisa dipoles-poles lagi, tidak ada pilihan lain kecuali mengakui kegagalan.

Namun, itulah pengakuan yang terlalu terlambat datang. Apa pun yang akan ditempuh untuk memperbaikinya, waktu yang tersedia terlalu sempit dan tidak banyak lagi momentum.

Secara normatif, sebuah kekuasaan yang dibentuk koalisi oportunis hanya efektif tiga tahun. Satu tahun pertama periode konsolidasi, sedangkan satu tahun terakhir masa penyelamatan diri masing-masing menjelang pemilu. Itu berarti waktu efektif pemerintahan sekarang tinggal satu setengah tahun menjelang Pemilu 2014.

Dengan demikian, reshuffle kabinet yang mulai disuarakan lagi belakangan ini juga tidak efektif. Siapa pun menteri yang diganti dan dari partai apa pun sang pengganti datang tidak bakal bisa mengubah keadaan dengan waktu yang begitu singkat.

Yang terbaik yang bisa dilakukan SBY ialah bertahan dengan kabinet sekarang. Walaupun, bagi banyak orang, mengharapkan prestasi dari kabinet sekarang seperti mendorong mobil yang kempes ban ke jalan tanjakan.

Kendati demikian, baik juga dicari penyebab jebloknya prestasi kabinet. Itu tidak untuk memperbaiki yang sekarang, tetapi bisa menjadi pelajaran bagi pemerintahan mendatang.

Pertama, politik citra harus didasarkan pada kerja nyata dan terasa bagi rakyat banyak, bukan perang pernyataan di media massa. Pemerintahan tidak akan efektif hanya ditempuh melalui statement.

Kedua, pemerintah tidak boleh hanya terbuai pada indikator makro, tetapi juga harus mengindahkan indikator mikro. Angka perdagangan saham, inflasi, dan kurs tidak berkontribusi banyak bila tidak menjawab kemiskinan dan pengangguran.

Ketiga, pemerintahan mendatang harus menemukan cara lebih efektif membentuk koalisi. Menteri harus dipercayakan kepada para profesional, bukan semata pembagian portofolio kementerian kepada partai politik.

Banyak yang mengatakan inilah pemerintahan yang gagal sehingga pantaslah Indonesia disebut sebagai negara gagal. Mungkin terlalu ekstrem untuk mengatakan failed state. Namun, satu hal yang amat terasa, bahwa kita hidup di negara yang memiliki pemerintah, tetapi miskin pemerintahan. The government without governance.

0 comments:

Post a Comment

Connect with Us!

Banner 300x250

Most Popular

Internet

Home Style

Fashion

Money

Azon Profit Master

Beauty

Sekolah Internet Indonesia

Computer

Life Style