Analogi korupsi di Indonesia saat ini mirip orang yang tengah menderita
penyakit tumor ganas. Sel-selnya menyebar ke hampir seluruh tubuh.
Dokter yang seharusnya menangani penyakit itu, yaitu kepolisian, kejaksaan, bahkan KPK sekalipun, bukan hanya tidak bersih, melainkan juga terkena tumor ganas. Itulah sebabnya, peringkat Indonesia sebagai negara terkorup pun tidak juga berubah.
Survei terbaru yang dirilis awal pekan ini oleh World Justice Project mengafirmasi kenyataan itu. Hasil survei terhadap penegakan hukum di 66 negara di dunia menyebutkan bahwa praktik korupsi di Indonesia sudah sangat menyebar luas. Dari 66 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi ke-47 untuk ketiadaan korupsi dan akses untuk keadilan sipil. Bahkan, untuk level kawasan Asia Timur dan Pasifik, rangking ketiadaan korupsi di Indonesia masuk di urutan kedua dari paling buncit sebelum Kamboja.
Untuk urusan bebas korupsi itu, Indonesia bahkan kalah jika dibandingkan dengan Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia.
Padahal, peringkat Indonesia agak tinggi dalam hal kejelasan hukum. Itu berarti, aturan dan sistem pemberantasan dan pencegahan korupsi sudah gamblang, bahkan banyak. Hingga kini, setidaknya ada 10 undang-undang, 6 peraturan pemerintah, dan 6 instruksi presiden yang berhubungan dengan perang melawan korupsi.
Bukan cuma itu, pemimpin tertinggi di Republik ini, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah berkali-kali mendeklarasikan menghunus pedang melawan korupsi. Presiden juga mengatakan akan berada di garda terdepan dalam perang besar melawan korupsi.
Partai yang dibidani oleh Yudhoyono, Partai Demokrat, juga selalu berseru dan mengajak untuk mengatakan tidak kepada korupsi. Akan tetapi, rupa-rupa aturan dan seruan gagah itu majal, bahkan dalam beberapa kasus dimandulkan.
Pengakuan Wakil Presiden Boediono bahwa Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tidak ada gaungnya, menegaskan bahwa pengurus negara tidak tahu lagi harus berbuat apa. Itu sekaligus tanda bahwa negara menyerah terhadap korupsi dan koruptor.
Tidak mengherankan jika perilaku korup dan curang kian mendapatkan permakluman di negeri ini. Bukan cuma itu, mereka yang mengusahakan kejujuran seperti Siami dan Widodo, yang melaporkan kepada Wali Kota Surabaya bahwa guru memaksa anak mereka memberikan sontekan ujian nasional, malah dibenci, dikucilkan, dan diusir oleh warga kampungnya.
Sebaliknya, puluhan koruptor melenggang bebas, mendapat remisi hukuman berkali-kali, bahkan difasilitasi kabur ke luar negeri.
Selama perang melawan korupsi hanya topeng pembungkus wajah bopeng, selama pedang yang dihunus untuk membunuh korupsi merupakan pedang-pedangan, sampai kiamat pun predikat negara terkorup tidak akan beringsut dari negeri ini.
Pada titik itulah, kita harus berkata selamat tinggal perang melawan korupsi.
Dokter yang seharusnya menangani penyakit itu, yaitu kepolisian, kejaksaan, bahkan KPK sekalipun, bukan hanya tidak bersih, melainkan juga terkena tumor ganas. Itulah sebabnya, peringkat Indonesia sebagai negara terkorup pun tidak juga berubah.
Survei terbaru yang dirilis awal pekan ini oleh World Justice Project mengafirmasi kenyataan itu. Hasil survei terhadap penegakan hukum di 66 negara di dunia menyebutkan bahwa praktik korupsi di Indonesia sudah sangat menyebar luas. Dari 66 negara yang disurvei, Indonesia menempati posisi ke-47 untuk ketiadaan korupsi dan akses untuk keadilan sipil. Bahkan, untuk level kawasan Asia Timur dan Pasifik, rangking ketiadaan korupsi di Indonesia masuk di urutan kedua dari paling buncit sebelum Kamboja.
Untuk urusan bebas korupsi itu, Indonesia bahkan kalah jika dibandingkan dengan Vietnam, Filipina, Thailand, dan Malaysia.
Padahal, peringkat Indonesia agak tinggi dalam hal kejelasan hukum. Itu berarti, aturan dan sistem pemberantasan dan pencegahan korupsi sudah gamblang, bahkan banyak. Hingga kini, setidaknya ada 10 undang-undang, 6 peraturan pemerintah, dan 6 instruksi presiden yang berhubungan dengan perang melawan korupsi.
Bukan cuma itu, pemimpin tertinggi di Republik ini, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sudah berkali-kali mendeklarasikan menghunus pedang melawan korupsi. Presiden juga mengatakan akan berada di garda terdepan dalam perang besar melawan korupsi.
Partai yang dibidani oleh Yudhoyono, Partai Demokrat, juga selalu berseru dan mengajak untuk mengatakan tidak kepada korupsi. Akan tetapi, rupa-rupa aturan dan seruan gagah itu majal, bahkan dalam beberapa kasus dimandulkan.
Pengakuan Wakil Presiden Boediono bahwa Inpres Nomor 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tidak ada gaungnya, menegaskan bahwa pengurus negara tidak tahu lagi harus berbuat apa. Itu sekaligus tanda bahwa negara menyerah terhadap korupsi dan koruptor.
Tidak mengherankan jika perilaku korup dan curang kian mendapatkan permakluman di negeri ini. Bukan cuma itu, mereka yang mengusahakan kejujuran seperti Siami dan Widodo, yang melaporkan kepada Wali Kota Surabaya bahwa guru memaksa anak mereka memberikan sontekan ujian nasional, malah dibenci, dikucilkan, dan diusir oleh warga kampungnya.
Sebaliknya, puluhan koruptor melenggang bebas, mendapat remisi hukuman berkali-kali, bahkan difasilitasi kabur ke luar negeri.
Selama perang melawan korupsi hanya topeng pembungkus wajah bopeng, selama pedang yang dihunus untuk membunuh korupsi merupakan pedang-pedangan, sampai kiamat pun predikat negara terkorup tidak akan beringsut dari negeri ini.
Pada titik itulah, kita harus berkata selamat tinggal perang melawan korupsi.
0 comments:
Post a Comment