Keamanan, kenyamanan, dan keselamatan penumpang di dalam angkutan umum menjadi salah satu indikator untuk menilai kemajuan peradaban sebuah bangsa. Semakin buruk keamanan dan kenyamanan di dalam angkutan umum, semakin rendah pula derajat peradaban bangsa itu.
Apakah predikat bangsa itu bila yang terjadi ialah perkosaan penumpang di dalam angkutan umum? Jawabnya ialah bangsa yang tidak beradab! Siapakah yang harus disalahkan? Jawabnya jelas negara dan pemerintah.
Menurut ketentuan perundang-undangan, lalu lintas dan angkutan jalan dikuasai negara dan pembinaannya dilakukan pemerintah. Bukankah konstitusi menugasi negara untuk melindungi segenap warganya?
Oleh karena itu, tidaklah berlebihan untuk mengatakan buruknya keamanan dan kenyamanan di dalam angkutan umum juga memperlihatkan tidak beresnya negara dan pemerintah mengurus warganya.
Fakta menunjukkan secara telanjang bahwa kejahatan semakin merajalela di dalam angkutan umum. Pencopetan, penodongan, perampokan, dan pelecehan seksual, bahkan perkosaan, kian marak terjadi di angkutan umum. Hampir tidak ada lagi ruang yang aman dan nyaman di dalam angkutan umum.
Dalam sebulan terakhir, misalnya, terjadi dua kali perkosaan dan satu perampokan di dalam angkutan umum. Salah satu korban ialah Livia Pavita Soelistio. Mahasiswi itu dirampok, diperkosa, dan dibunuh di dalam angkutan umum pada 16 Agustus lalu.
Kasus terakhir menimpa seorang karyawati, RS, yang diperkosa di dalam angkutan kota jurusan Ciputat-Pondok Labu pada 1 September. Negara dan pemerintah seakan absen. Korban memburu sendiri sang pemerkosa sampai berhasil menangkap.
Pemerintah seakan-akan angkat tangan dan tidak mau bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan warga di dalam angkutan umum. Karena itu, ada pejabat pemerintah buru-buru mencari kambing hitam, menyalahkan perempuan yang memakai rok mini. Itu namanya buruk rupa pelayanan publik, rok mini perempuan dibelah.
Harus jujur diakui bahwa kebobrokan di dalam angkutan umum menjadi tanggung jawab pemerintah, polisi, dan pemilik ataupun sopir angkutan umum. Pangkal musababnya ialah sikap melayani warga belum tertanam dalam manajemen transportasi publik.
Pemerintah telah mengabaikan fungsinya sebagai pembina dan pengawas lalu lintas dan angkutan jalan. Mobil umum yang menggunakan kaca gelap dibiarkan tanpa ada tindakan. Oknum pejabat malah beralih profesi menjadi penjual trayek.
Polisi patut ikut disalahkan karena sengaja memelihara pelanggaran yang terjadi di jalan raya. Bayangkan, sebagian sopir angkutan umum tidak memiliki SIM A umum. Di Depok, Jawa Barat, bahkan hanya 10% dari sekitar 6.000 sopir angkutan kota yang memiliki SIM A umum.
Karena itu, paripurnalah sudah segenap pemangku kepentingan angkutan umum secara sadar atau tidak sadar telah merendahkan derajat peradaban negeri ini, bahkan menjadikan negeri ini tidak beradab.
0 comments:
Post a Comment