Di Negeri korup yang semuanya bisa diatur, keanehan sekeji apa pun bisa terjadi. Kebijakan bisa dijungkir balik sesuai keinginan yang mengatur.
Pemilihan Umum 2009 yang merupakan puncak kedaulatan rakyat bisa berproses dan berujung pada pertikaian tentang sejumlah hasil haram. Surat keputusan yang dipalsukan hingga berujung pada tudingan kursi haram yang diduduki anggota dewan terhormat.
Ribut-ribut tentang kursi haram dan surat haram kini mencuat. Kasus surat haram sedang melilit Andi Nurpati dan kursi haram sedang memberondong Ahmad Yani, anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan.
Panja Mafia Pemilu Komisi II DPR sekarang sedang membahas pengaduan tentang 7 kursi di DPR yang diduga diduduki secara haram. Salah satu yang mencolok ialah yang diduduki Ahmad Yani.
Perihal kursi Ahmad Yani bermula dari laporan calon legislatif urutan 1 PPP daerah pemilihan Sumatra Selatan 1, Usman Tokan. Yani sendiri adalah caleg PPP nomor urut 2 untuk dapil tersebut. Tokan curiga atas penggelembungan suara untuk PPP di dapilnya.
Alhasil pada 9 Mei 2009 KPU mengeluarkan daftar anggota DPR terpilih dapil Sumsel I. Dalam daftar itu Usman Tokan mendapat kursi. Namun, rapat pleno KPU menetapkan anggota terpilih atas nama Ahmad Yani.
Ketua KPU Hafiz Anshary berdalih bahwa penetapan kursi Yani didapat setelah ada putusan dari Mahkamah Konstitusi (MK). KPU memang sudah menetapkan Usman Tokan memperoleh suara terbanyak.
Namun, ada gugatan dari PPP ke MK bahwa suara PPP di wilayah itu lebih banyak. MK pun menetapkan PPP memperoleh tambahan 10.417 suara. Penambahan suara itu diklaim milik Ahmad Yani.
Atas keputusan MK itu, KPU meminta penjelasan mengenai suara partai mana yang berkurang sebagai konsekuensi penambahan suara PPP. Namun, MK melalui surat yang ditandatangani Panitera MK Zaenal Arifin Hoesein tidak menjelaskan soal itu, malah menjawab bahwa caleg terpilih dari PPP adalah Ahmad Yani.
Begitulah jadinya jika kekacauan diberi ruang permakluman. Celakanya lagi, permakluman atas kekacauan itu terjadi pada jantung demokrasi, yaitu pelaksana pemilu.
Sejak awal, banyak pihak mengkritik keras kinerja KPU sebagai penyelenggara Pemilu 2009 yang tidak kompeten. Ketidakberesan berkali-kali dikemukakan, tidak kunjung muncul tindakan atau sanksi konkret, misalnya perombakan KPU.
Maka, legitimasi hasil Pemilu 2009 pun bakal terus menuai gugatan. Kursi yang ditengarai diperoleh secara haram pun tidak akan pernah bisa diduduki secara nyaman. Kalau kian banyak wakil yang duduk di kursi haram, jelas produk-produk yang dihasilkan pun haram. Rakyat pun ramai-ramai disuguhi aturan yang haram.
0 comments:
Post a Comment