Susilo Bambang Yudhoyono kemarin menggelar konferensi pers yang tergolong unik di dunia. Bahkan, unik dan langka. Mengapa? Karena konferensi pers itu menanggapi SMS (short message service) gelap.
SMS itu beredar Sabtu (28/5) yang dikirim dari telepon seluler nomor Singapura. Pengirimnya bernama M Nazaruddin, yang menyebut dirinya 'telah dijebak, dikorbankan, dan difitnah. Karakter, karier, masa depan saya dihancurkan'.
Isi SMS itu (demi kepatutan tidak kita beberkan) membuat kita geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut. Isinya menohok sejumlah tokoh sentral Partai Demokrat mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, hingga Andi Nurpati.
Sejak SMS itu beredar, elite Demokrat hingga kalangan Istana Kepresidenan ramai-ramai membantah isi SMS. Mereka menilai isi SMS itu hanyalah fitnah terhadap Presiden dan Partai Demokrat.
Bantahan itu ternyata tidak memuaskan. Buktinya, Presiden Yudhoyono terjun langsung menanggapi SMS itu. Sebelum berangkat ke Pontianak, Kalimantan Barat, kemarin, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Presiden menggelar konferensi pers khusus menegaskan lagi bahwa isi SMS itu sepenuhnya fitnah yang dilemparkan dari ruang gelap.
Presiden menyerukan agar negeri ini tidak menjadi tanah dan lautan fitnah karena hal itu tidak mencerdaskan bangsa. Para penyebar fitnah dinilai sebagai pengecut dan tidak kesatria.
Kita semula mengira SMS gelap itu tidak akan ditanggapi, apalagi dibantah. Sikap itu misalnya diperlihatkan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum yang enggan menanggapi SMS tersebut. Karena itu, kita tersentak sekaligus prihatin ketika Presiden menanggapi SMS tersebut. Sikap reaktif itu bisa menuai reaksi balik, jangan-jangan isi SMS itu benar.
Tentu saja kita tidak ingin anggapan itu muncul dan berkembang di tengah publik. Akan tetapi, siapakah yang dapat membendungnya tatkala publik justru memercayai isi SMS itu karena Presiden menanggapinya? Bukankah publik bisa berpandangan bahwa ada asap karena ada api?
Di sebuah negara yang baru mengalami euforia demokrasi dan gandrung ber-SMS, kita menduga akan banyak muncul SMS sejenis di masa mendatang. Lagi pula, dari sudut substansi, sesungguhnya apakah bedanya SMS gelap yang menggunakan teknologi modern dengan surat kaleng yang juga gelap? Menanggapi surat kaleng jelas perkara yang tak elok, seperti kurang kerjaan, bahkan menunjukkan kurang pede.
Pemimpin mestinya tegar menghadapi segala macam situasi. Dia harus mampu memilah isu besar yang menjadi tanggung jawabnya dan hal-hal remeh temeh yang perlu diabaikan. Surat kaleng tetaplah surat kaleng sekalipun menggunakan baju canggih bernama short message service alias SMS.
SMS bodong itu diakui muncul dari ruang gelap, dikirim pengecut yang tidak kesatria. Tetapi, mengapa menanggapi hantu? Mengapa pemimpin bangsa menanggapi pengecut? Apakah kesatria menanggapi yang bukan kesatria?
Kita teringat pepatah lama; kalau tiada angin bertiup, takkan pokok bergoyang.
SMS itu beredar Sabtu (28/5) yang dikirim dari telepon seluler nomor Singapura. Pengirimnya bernama M Nazaruddin, yang menyebut dirinya 'telah dijebak, dikorbankan, dan difitnah. Karakter, karier, masa depan saya dihancurkan'.
Isi SMS itu (demi kepatutan tidak kita beberkan) membuat kita geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut. Isinya menohok sejumlah tokoh sentral Partai Demokrat mulai dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, hingga Andi Nurpati.
Sejak SMS itu beredar, elite Demokrat hingga kalangan Istana Kepresidenan ramai-ramai membantah isi SMS. Mereka menilai isi SMS itu hanyalah fitnah terhadap Presiden dan Partai Demokrat.
Bantahan itu ternyata tidak memuaskan. Buktinya, Presiden Yudhoyono terjun langsung menanggapi SMS itu. Sebelum berangkat ke Pontianak, Kalimantan Barat, kemarin, di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Presiden menggelar konferensi pers khusus menegaskan lagi bahwa isi SMS itu sepenuhnya fitnah yang dilemparkan dari ruang gelap.
Presiden menyerukan agar negeri ini tidak menjadi tanah dan lautan fitnah karena hal itu tidak mencerdaskan bangsa. Para penyebar fitnah dinilai sebagai pengecut dan tidak kesatria.
Kita semula mengira SMS gelap itu tidak akan ditanggapi, apalagi dibantah. Sikap itu misalnya diperlihatkan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum yang enggan menanggapi SMS tersebut. Karena itu, kita tersentak sekaligus prihatin ketika Presiden menanggapi SMS tersebut. Sikap reaktif itu bisa menuai reaksi balik, jangan-jangan isi SMS itu benar.
Tentu saja kita tidak ingin anggapan itu muncul dan berkembang di tengah publik. Akan tetapi, siapakah yang dapat membendungnya tatkala publik justru memercayai isi SMS itu karena Presiden menanggapinya? Bukankah publik bisa berpandangan bahwa ada asap karena ada api?
Di sebuah negara yang baru mengalami euforia demokrasi dan gandrung ber-SMS, kita menduga akan banyak muncul SMS sejenis di masa mendatang. Lagi pula, dari sudut substansi, sesungguhnya apakah bedanya SMS gelap yang menggunakan teknologi modern dengan surat kaleng yang juga gelap? Menanggapi surat kaleng jelas perkara yang tak elok, seperti kurang kerjaan, bahkan menunjukkan kurang pede.
Pemimpin mestinya tegar menghadapi segala macam situasi. Dia harus mampu memilah isu besar yang menjadi tanggung jawabnya dan hal-hal remeh temeh yang perlu diabaikan. Surat kaleng tetaplah surat kaleng sekalipun menggunakan baju canggih bernama short message service alias SMS.
SMS bodong itu diakui muncul dari ruang gelap, dikirim pengecut yang tidak kesatria. Tetapi, mengapa menanggapi hantu? Mengapa pemimpin bangsa menanggapi pengecut? Apakah kesatria menanggapi yang bukan kesatria?
Kita teringat pepatah lama; kalau tiada angin bertiup, takkan pokok bergoyang.
0 comments:
Post a Comment