Bila Hakim Lapar Suap


Satu lagi hakim ditangkap karena menerima suap. Namanya Syarifuddin Umar, hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Inilah hakim keempat dalam dua tahun terakhir yang ditangkap karena menerima sogok.

Ketika anggota DPR berduyun-duyun dan silih berganti diadili dan masuk bui karena suap dan sogok, publik terheran-heran. Ketika jaksa dan polisi diciduk karena tergoda dan memaksakan sogokan, publik mengelus dada. Kita masih menghibur diri bahwa masih ada harapan bagi tegaknya keadilan.

Namun, apa yang bisa dikatakan ketika hakim mau disogok? Tidak ada kata lain kecuali ini: tamatlah riwayat keadilan. Apa pun yang dilakukan lembaga lain, seperti kepolisian dan kejaksaan, akan lumpuh bila hakim menggadaikan kebenaran demi segepok uang. Maka di negara seperti ini, keadilan dan kebenaran hanya milik yang punya uang dan kekuasaan.

Penangkapan hakim Syarifuddin sekaligus menegaskan dengan gamblang bahwa mafia peradilan ada dan menggurita. Perang terhadap korupsi gagal total karena benteng terakhir penjaga keadilan menggadaikan dirinya kepada fulus.

Ketika hakim mau disuap koruptor dan penjahat, sia-sialah semua pekerjaan jaksa dan polisi. Koruptor yang dicari dan ditangkap dengan susah payah dibebaskan para hakim di pengadilan. Ketika polisi dan jaksa yang tahu koruptor bebas karena hakim mau disuap, mereka pun berlomba-lomba membebaskan koruptor sebelum sampai ke meja hijau. Tentu dengan imbalan suap.

Inilah yang membuat kerusakan sistemik perilaku penegakan hukum yang menyuburkan korupsi. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch, hakim Syarifuddin yang baru ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi setidaknya telah membebaskan 39 terdakwa korupsi. Terakhir, Syarifuddin membebaskan Agusrin Najamudin, Gubernur Bengkulu dari semua dakwaan korupsi.

Kasus hakim Syarifuddin sekali lagi mempertegas bahwa remunerasi hakim yang dikeluhkan terlalu kecil, tidak memiliki dampak langsung pada perubahan tingkah laku koruptif. Persoalan utama terletak pada integritas pribadi seorang hakim. Kebobrokan integritas tidak bisa diobati semata oleh peningkatan remunerasi.

Harus ada hukum dan sanksi sosial yang keras terhadap hakim-hakim yang melacurkan diri. Dia tidak hanya menggadaikan harga dirinya, tetapi lebih mengerikan ialah dia mengubur hak publik terhadap keadilan.

Kita tidak boleh lagi menghibur diri dengan mengatakan masih banyak hakim yang baik dan berakhlak. Korupsi yang membara di negeri ini disebabkan kelakuan jahat 'sejumlah kecil oknum' yang ternyata merasuk secara sistemik. Penjahat yang 'sedikit' itu ternyata mampu menularkan kerakusan yang luar biasa sehingga Indonesia bertengger di nomor atas daftar negara-negara terkorup di dunia.

Masihkah kita percaya bahwa yang korup itu oknum hakim, oknum polisi, oknum jaksa, dan oknum anggota DPR? Lihat bagaimana secara sistematis kekuatan politik saling mengunci untuk membela 'oknum' mereka yang korup. 
  

0 comments:

Post a Comment

Connect with Us!

Banner 300x250

Most Popular

Internet

Home Style

Fashion

Money

Azon Profit Master

Beauty

Sekolah Internet Indonesia

Computer

Life Style