Polisi masih memperlihatkan wajah ganda dalam penegakan hukum. Di satu pihak mereka tampil sigap, bahkan luar biasa tangkas, mengusut perkara untuk kepentingan penguasa. Sebaliknya, polisi sepertinya lemas lunglai mengusut perkara yang mengusik kepentingan elite partai berkuasa.
Hanya dalam tempo singkat, kurang dari tiga hari, polisi sudah membentuk tim untuk menyelidiki SMS gelap yang antara lain isinya menohok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tim itu dibentuk atas inisiatif polisi, tanpa ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.
Sebaliknya, polisi malah linglung mengusut kasus yang diadukan secara resmi dan disertai bukti-bukti yang kuat. Kini, setelah 15 bulan berlalu, polisi baru mau mengusut laporan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD perihal dugaan pemalsuan surat yang melibatkan Andi Nurpati, anggota Komisi Pemilihan Umum kala itu.
Andi Nurpati dilaporkan ke polisi pada 12 Februari 2010 karena diduga memalsukan surat Mahkamah Konstitusi untuk meloloskan calon anggota legislatif Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo, ke DPR RI. Padahal, surat asli Mahkamah Konstitusi menyebut calon anggota legislatif Partai Gerindra, Mestariyani Habie, yang berhak duduk di Senayan.
Mahkamah Konstitusi tidak asal melapor kepada polisi. Laporan itu dibuat setelah mahkamah melakukan investigasi internal dan beberapa pelakunya sudah mengakui membuat surat palsu tersebut di sebuah apartemen di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Kemudian, surat itu seolah-olah dikirimkan melalui faksimile Mahkamah Konstitusi. Setelah dicek Telkom, nomor faksimile itu sudah lama mati.
Semula polisi mengakui tidak menerima laporan dari Mahkamah Konstitusi.
Setelah Mahfud MD membeberkan secara terbuka kepada publik, barulah polisi mengusutnya. Namun, mereka tetap berkukuh bahwa dalam laporan itu tidak disebutkan secara eksplisit nama Andi Nurpati.
Ketidaksigapan polisi mengusut kasus yang dilaporkan Mahkamah Konstitusi itu menimbulkan banyak tafsir. Apakah polisi takut karena Andi Nurpati kini menjadi pejabat teras partai berkuasa, sebagai Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Komunikasi Publik? Jika laporan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi saja diabaikan polisi, apalagi laporan masyarakat biasa.
Wajah ganda penegakan hukum itu justru melanggengkan persepi buruk publik terhadap polisi sebagai tameng kekuasaan. Ia dianggap sebagai pelindung pejabat kala sang pejabat bersengketa dengan warga. Polisi tidak maksimal tampil sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat seperti moto mereka.
Penting untuk diingatkan, polisi jangan sampai terkecoh oleh argumentasi Andi Nurpati bahwa kasus yang menjeratnya ialah sengketa pemilu yang sudah kedaluwarsa. Itu ialah kasus pemalsuan dokumen yang kedaluwarsa setelah 12 tahun kemudian, atau pada akhir 2022. Ancaman hukumannya pun sangat jelas, yaitu lima hingga tujuh tahun masuk bui.
Mari kita lihat apakah polisi tetap pura-pura tidak tahu terhadap kasus Andi Nurpati. Apakah polisi loyal kepada hukum atau sekrup kekuasaan?
Hanya dalam tempo singkat, kurang dari tiga hari, polisi sudah membentuk tim untuk menyelidiki SMS gelap yang antara lain isinya menohok Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tim itu dibentuk atas inisiatif polisi, tanpa ada pengaduan dari pihak yang merasa dirugikan.
Sebaliknya, polisi malah linglung mengusut kasus yang diadukan secara resmi dan disertai bukti-bukti yang kuat. Kini, setelah 15 bulan berlalu, polisi baru mau mengusut laporan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD perihal dugaan pemalsuan surat yang melibatkan Andi Nurpati, anggota Komisi Pemilihan Umum kala itu.
Andi Nurpati dilaporkan ke polisi pada 12 Februari 2010 karena diduga memalsukan surat Mahkamah Konstitusi untuk meloloskan calon anggota legislatif Partai Hanura, Dewi Yasin Limpo, ke DPR RI. Padahal, surat asli Mahkamah Konstitusi menyebut calon anggota legislatif Partai Gerindra, Mestariyani Habie, yang berhak duduk di Senayan.
Mahkamah Konstitusi tidak asal melapor kepada polisi. Laporan itu dibuat setelah mahkamah melakukan investigasi internal dan beberapa pelakunya sudah mengakui membuat surat palsu tersebut di sebuah apartemen di kawasan Kemayoran, Jakarta Pusat. Kemudian, surat itu seolah-olah dikirimkan melalui faksimile Mahkamah Konstitusi. Setelah dicek Telkom, nomor faksimile itu sudah lama mati.
Semula polisi mengakui tidak menerima laporan dari Mahkamah Konstitusi.
Setelah Mahfud MD membeberkan secara terbuka kepada publik, barulah polisi mengusutnya. Namun, mereka tetap berkukuh bahwa dalam laporan itu tidak disebutkan secara eksplisit nama Andi Nurpati.
Ketidaksigapan polisi mengusut kasus yang dilaporkan Mahkamah Konstitusi itu menimbulkan banyak tafsir. Apakah polisi takut karena Andi Nurpati kini menjadi pejabat teras partai berkuasa, sebagai Ketua DPP Partai Demokrat Bidang Komunikasi Publik? Jika laporan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan konstitusi saja diabaikan polisi, apalagi laporan masyarakat biasa.
Wajah ganda penegakan hukum itu justru melanggengkan persepi buruk publik terhadap polisi sebagai tameng kekuasaan. Ia dianggap sebagai pelindung pejabat kala sang pejabat bersengketa dengan warga. Polisi tidak maksimal tampil sebagai pelayan, pelindung, dan pengayom masyarakat seperti moto mereka.
Penting untuk diingatkan, polisi jangan sampai terkecoh oleh argumentasi Andi Nurpati bahwa kasus yang menjeratnya ialah sengketa pemilu yang sudah kedaluwarsa. Itu ialah kasus pemalsuan dokumen yang kedaluwarsa setelah 12 tahun kemudian, atau pada akhir 2022. Ancaman hukumannya pun sangat jelas, yaitu lima hingga tujuh tahun masuk bui.
Mari kita lihat apakah polisi tetap pura-pura tidak tahu terhadap kasus Andi Nurpati. Apakah polisi loyal kepada hukum atau sekrup kekuasaan?
0 comments:
Post a Comment