Pancasila Tanpa Roh



Tiga presiden berpidato tentang Pancasila kemarin di Jakarta. BJ Habibie, presiden ketiga, menekankan reaktualisasi, Megawati Soekarnoputri, presiden kelima, memperlihatkan keagungan pikiran dan perjuangan Pancasila oleh Bung Karno, dan Susilo Bambang Yudhoyono, presiden sekarang, berbicara tentang revitalisasi.

Pidato bersama tiga presiden--peristiwa langka dalam sejarah kita--diadakan untuk memperingati pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 ketika para pendiri negara membahas tentang dasar negara. Itulah tanggal yang sampai hari ini diakui sebagai Hari Lahir Pancasila.

Pidato bersama yang fenomenal dari tiga presiden itu menegaskan dua perkara fundamental menyangkut Pancasila. Pertama, sebagai ideologi tidak ada keraguan sedikitpun pada nilai-nilai yang dikandung dalam Pancasila. Tetapi di saat bersamaan ketiganya mengakui ada kerisauan terhadap fakta bahwa Pancasila semakin kehilangan roh dalam praktek kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat dewasa ini.

Sayang beribu sayang, reaktualisasi yang ditekankan Habibie, keagungan pikiran dan perjuangan Bung Karno yang dipancarkan Megawati dan revitalisasi yang dipaparkan SBY, kehilangan jawaban yang amat mendasar. Yaitu, bagaimana menyalakan kembali roh Pancasila dalam praktek kehidupan keseharian.

Sebuah ideologi hanya hidup bila menjelma ke dalam praxis. Tanpa praxis, atau implementasi, ideologi akan lenyap, fenomena yang banyak dirisaukan saat ini terhadap Pancasila.

Sederhana saja untuk menelusuri sejauh mana Pancasila telah menjelma menjadi praxis. Tengoklah pada implementasi dari tiga pilar utamanya.

Pertama, adalah pada sejauh mana bangsa ini mempraktekkan dan menghormati UUD 1945 yang menjadi konstitusi. Kedua, lihat praxis Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketiga simaklah pluralisme dalam praktek dari Sabang sampai Merauke.

Presiden SBY memaparkan survei Badan Pusat Statistik yang hasilnya melegakan. Bahwa, lebih dari 75 persen rakyat Indonesia masih menganggap Pancasila sebagai ideolog yang benar. Tetapi tidak mencari lebih jauh mengapa 25 persen yang lain menolak atau meragukan Pancasila?

Yang paling dominan merongrong roh Pancasila adalah pertanyaan atau kekecewaan pada keadilan sosial. Menyangkut konstitusi pertanyaannya adalah siapakah yang menguasai kekayaan laut, udara dan darat yang menyangkut hidup orang banyak sekarang ini?

Menyangkut Negara Kesatuan Repubik Indonesia yang salah satu keharusan adalah kesatuan sistem hukum, pertanyaannya, negara telah berbuat apa terhadap tumbuh dan maraknya perda-perda berbasis Syariah?

Menyangkut kebhinekaan, negara telah berbuat apa terhadap fundamentalisme yang marak dan terjelma dalam konflik-konflik berbasis agama, sukui, dan ras?

Banyak pertanyaan tentang roh Pancasila yang memudar, tapi sayang tidak mungkin dibeberkan semuanya pada ruang dan waktu yang begini sempit. Pidato bersama Pancasila oleh tiga presiden setidaknya mengingatkan perlunya revisi total Pancasila dalam praxis.

0 comments:

Post a Comment

Connect with Us!

Banner 300x250

Most Popular

Internet

Home Style

Fashion

Money

Azon Profit Master

Beauty

Sekolah Internet Indonesia

Computer

Life Style