Seperti diperkirakan sebelumnya, Muhammad Nazaruddin ternyata mangkir, tidak
memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kemarin. Ia
seharusnya diperiksa sebagai saksi kasus dugaan korupsi di Kementerian
Pendidikan Nasional pada 2007.
Tak hanya itu. Istri Nazaruddin, Neneng Sriwahyuni, yang kemarin juga dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai saksi kasus yang berbeda, yaitu dugaan korupsi proyek di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008, pun mangkir. Suami-istri itu tak muncul batang hidungnya di KPK.
Padahal, kasus Nazaruddin merupakan kasus yang spektakuler, sedikitnya karena tiga alasan. Pertama, kasus itu melibatkan Partai Demokrat, partai yang berkuasa, dengan kedudukan terakhir Nazaruddin sebagai bendahara umum. Kedua, kasus dugaan korupsi terjadi bukan hanya di satu kementerian seperti yang menjadi topik berita selama ini, melainkan di tiga kementerian (Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).
Ketiga, istrinya pun ternyata punya urusan dengan uang negara. Jika sebelumnya orang hanya bicara tentang Nazaruddin yang katanya berada di Singapura, sekarang orang harus juga bicara satu paket, tidakkah suami-istri itu telah sama-sama kabur?
Beberapa waktu setelah Nazaruddin hengkang ke Singapura, Menko Polhukam Joko Suyanto meminta jajarannya membantu KPK menghadirkan Nazaruddin. Namun, hingga hari ini, kita tidak tahu langkah apa yang telah diupayakan Menko Polhukam dan jajarannya.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY memerintahkan pengurus partai mendatangkan Nazaruddin ke Tanah Air. Kenyataannya, pengurus Partai Demokrat pun gagal menjemput Nazaruddin.
Padahal, elite partai yang berkuasa itu sempat berkoar-koar akan mendatangkan Nazaruddin. Sesuatu yang tampak menjanjikan sebab bukankah Partai Demokrat sendiri lewat fraksinya di DPR yang mengizinkan Nazaruddin berobat ke Singapura? Sekarang Partai Demokrat pun seolah lepas tangan soal Nazaruddin.
Bagaimana dengan KPK? KPK terkesan formalistis, hanya berpijak pada tataran hukum formal, sehingga lamban dalam menangani perkara Nazaruddin. Sepertinya KPK bahkan bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi, melainkan berubah menjadi Komisi Perlindungan Kepentingan.
KPK tampaknya tidak belajar dari kenyataan bahwa begitu banyak tersangka korupsi yang melarikan diri ke luar negeri dengan dalih berobat dan tak kembali. KPK bahkan tidak belajar dari kasus hengkangnya Nunun Nurbaeti Daradjatun, tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sekarang KPK sibuk sendiri melacak Nunun ke Kamboja.
Nazaruddin dan istri baru sekali kemarin dipanggil KPK. Akan tetapi, suka atau tidak suka, mangkirnya Nazaruddin dan istri memenuhi panggilan KPK itu telah menjadi indikator kuartet kegagalan, yaitu kegagalan Menko Polhukam, partai yang berkuasa, KPK, dan bahkan presiden.
Satu saja gagal telah menjadi petaka, apalagi empat-empatnya.
Tak hanya itu. Istri Nazaruddin, Neneng Sriwahyuni, yang kemarin juga dipanggil KPK untuk diperiksa sebagai saksi kasus yang berbeda, yaitu dugaan korupsi proyek di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada 2008, pun mangkir. Suami-istri itu tak muncul batang hidungnya di KPK.
Padahal, kasus Nazaruddin merupakan kasus yang spektakuler, sedikitnya karena tiga alasan. Pertama, kasus itu melibatkan Partai Demokrat, partai yang berkuasa, dengan kedudukan terakhir Nazaruddin sebagai bendahara umum. Kedua, kasus dugaan korupsi terjadi bukan hanya di satu kementerian seperti yang menjadi topik berita selama ini, melainkan di tiga kementerian (Kementerian Pemuda dan Olahraga, Kementerian Pendidikan Nasional, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi).
Ketiga, istrinya pun ternyata punya urusan dengan uang negara. Jika sebelumnya orang hanya bicara tentang Nazaruddin yang katanya berada di Singapura, sekarang orang harus juga bicara satu paket, tidakkah suami-istri itu telah sama-sama kabur?
Beberapa waktu setelah Nazaruddin hengkang ke Singapura, Menko Polhukam Joko Suyanto meminta jajarannya membantu KPK menghadirkan Nazaruddin. Namun, hingga hari ini, kita tidak tahu langkah apa yang telah diupayakan Menko Polhukam dan jajarannya.
Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY memerintahkan pengurus partai mendatangkan Nazaruddin ke Tanah Air. Kenyataannya, pengurus Partai Demokrat pun gagal menjemput Nazaruddin.
Padahal, elite partai yang berkuasa itu sempat berkoar-koar akan mendatangkan Nazaruddin. Sesuatu yang tampak menjanjikan sebab bukankah Partai Demokrat sendiri lewat fraksinya di DPR yang mengizinkan Nazaruddin berobat ke Singapura? Sekarang Partai Demokrat pun seolah lepas tangan soal Nazaruddin.
Bagaimana dengan KPK? KPK terkesan formalistis, hanya berpijak pada tataran hukum formal, sehingga lamban dalam menangani perkara Nazaruddin. Sepertinya KPK bahkan bukan lagi Komisi Pemberantasan Korupsi, melainkan berubah menjadi Komisi Perlindungan Kepentingan.
KPK tampaknya tidak belajar dari kenyataan bahwa begitu banyak tersangka korupsi yang melarikan diri ke luar negeri dengan dalih berobat dan tak kembali. KPK bahkan tidak belajar dari kasus hengkangnya Nunun Nurbaeti Daradjatun, tersangka kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Sekarang KPK sibuk sendiri melacak Nunun ke Kamboja.
Nazaruddin dan istri baru sekali kemarin dipanggil KPK. Akan tetapi, suka atau tidak suka, mangkirnya Nazaruddin dan istri memenuhi panggilan KPK itu telah menjadi indikator kuartet kegagalan, yaitu kegagalan Menko Polhukam, partai yang berkuasa, KPK, dan bahkan presiden.
Satu saja gagal telah menjadi petaka, apalagi empat-empatnya.
2 comments:
Setuju dengan MIOL,lembaga presiden, lembaga polhukham, lembaga parpol dan lembaga KPK yang semuanya bagian dari bagian penyelengagara negara sudah gagal.Menghadapi seorang Nazaruddin anak ingusan berusia 33 tahun, penyelenggara negara ini tidak mampu,pertanyaan selanjutnya, masih adakah yang diharapkan, nothing, negara sudah gagal.
Percaya kepada Nazaruddin dan istri sama saja burung pungguk merindukan bulan, kecuali diteluh saja sama Gendeng Pamungkas dan permadi dan juga Uya Kuya.
Post a Comment